Jumat, 21 Maret 2008

MATA RANTAI DAKWAH TAUHID

Tanah air kita Indonesia dengan jumlah penduduk + 210 juta, 85 % diantaranya beragama Islam, merupakan negara Islam terbesar di dunia. Pujianpun datang silih berganti dari orang-orang muslim luar Indonesia dan decakan kagum mereka dengan banyaknya kaum muslimin di Indonesia. Padahal seandainya mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri kondisi keagamaan umat Islam Indonesia, niscaya decakan kagum itu akan berubah menjadi kerutan kening di dahi. Kenapa?. Karena kebanyakan kaum muslimin Indonesia -bahkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia- hanya muslim label saja (Islam KTP); jauh dari ajaran Al Qur’an dan Al Hadits.
Sebelum agama Islam masuk Indonesia, tanah air kita kemasukan agama Budha dan Hindu terlebih dahulu. Maka, banyak dari kaum muslimin yang belum bisa meninggalkan secara total ajaran-ajaran Budha dan Hindu, akhirnya terjadilah agama baru: ‘Dhaslam’ (Budha+Islam), ‘Hinslam’ (Hindu+Islam), ditambah lagi setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh para penjajah, muncul agama lain; ‘Krislam’ (Kristen+Islam). Agama campuran ini tercermin dari praktek-praktek keagamaan sebagian kalangan kaum muslimin yang berbau ajaran Budha, Hindu ataupun Kristen. Seperti; adat peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sesudah kematian yang sebenarnya tidak pernah diajarkan sama sekali oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Terus dari mana datangnya?. Dari ajaran Budha yang meyakini bahwa pada hari-hari itu roh sang mayit kembali ke rumahnya untuk menengok keluarganya. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya berupa praktek-praktek kesyirikan, khurofat dan bid’ah-bid’ah yang menjamur di tanah air kita.
Meskipun demikian parahnya kondisi keagamaan masyarakat kita, tapi Alhamdulillah akhir-akhir ini ‘gerakan pemurnian ajaran Islam’ (mengembalikan agama Islam kepada dua sumbernya yang murni; Qur’an dan Sunah dengan pemahaman Salaf) mulai tersebar di negeri kita. Fenomena ini tentunya berkat karunia dari Allah ta’ala, juga semakin banyaknya alumni-alumni universitas dan Islamic centre Timur Tengah terutama Saudi dan Yaman yang kembali ke tanah air. Tentunya yang kita maksud di sini adalah para alumni yang konsisten dengan ilmu yang dipelajari dan berjuang untuk mendakwahkannya, bukan para alumni yang menjadikan ilmu yang dipelajari hanya sebagai wacana pemikiran dan terbawa arus adat istiadat masyarakat.
Tapi lantas timbul pertanyaan di benak kita; benarkah ‘gerakan pemurnian ajaran Islam ini’ memang baru ada di Indonesia akhir-akhir ini saja atau memang sudah ada para pendahulu kita yang meniti jalan yang sama?. Jika kita menilik sejarah bangsa, akan didapatkan bahwa gerakan serupa telah ada sejak awal abad ke 19 tepatnya tahun 1803 M.
Adalah kaum Paderi -diambil dari kata Pedir; sebuah pelabuhan di Sumatra Timur yang biasa digunakan masyarakat Minang berangkat ke Tanah Suci- di Minangkabau dulu, yang merintis dakwah tauhid di tanah air tercinta. Awal dari kebangkitan dakwah tauhid di ranah Minang tidak terlepas dari tradisi kuat sebagian urang awak dalam mencari ilmu. Kesuburan tanahnya dan ketekunan masyarakatnya menyebabkan hasil bumi mereka mampu mensejahterakan kehidupan mereka. Dari rejeki itulah banyak putra-putra Minang yang pergi menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu agama di tanah suci Mekah. Adapun ekses negatifnya adalah munculnya budaya hedonis dan hidup berfoya-foya yang dilakukan oleh pemuka adat dan pengikutnya sehingga kemaksiyatanpun seperti minum khamr, zina, judi, menyabung ayam dll tumbuh pula dengan suburnya.
Sekitar tahun 1803 kembalilah para thulabul ‘ilmi yang belajar kepada para ulama ahlus sunah di Mekah seperti Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) dan ulama lainnya, ke tanah air. Mulailah cahaya Islam menerangi kegelapan bumi Minangkabau. Tak dapat dipungkiri pula bahwa gerakan-gerakan pembaharuan telah menggejala di sana, tapi setelah kembalinya Haji Miskin dari Padri Sikat, Haji Sumanik dari Departemen Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar, gelora dakwah semakin berkobar. Orang-orang itu terkenal dengan julukan “Harimau nan Salapan” yang kemudian disebut dengan kaum Padri.
Berkembangnya dakwah di ranah Minang ini bisa terjadi karena sikap dakwah mereka yang begitu gigih memegang prinsip-prinsip syariat, ditambah muaknya mereka terhadap pemuka-pemuka agama dari kalangan tradisionalis yang mengabaikan prinsip akidah yang benar dan cenderung membiarkan kemaksiatan merajalela dengan dalih harus mengerti perasaan orang lain dan menghindari terpecahnya sendi-sendi masyarakat.
Berbeda dengan para pemuka agama tradisional yang mengkeramatkan kuburan-kuburan orang shalih serta memuja arwah-arwah mereka, berdo’adan meminta kepada mereka serta meneruskan kebiasaan ajaran Hindu-Budha seperti melakukan upacara kematian berhari-hari sebagai warisan dari kerajaan Hindu-Budha Pagaruyung masa kemimpinan raja Aditiawarman dulu, kaum Paderi bertolak belakang dengan sikap mereka. Prinsip tauhid yang shahih adalah pengharaman segala macam bentuk penyembahan kepada selain Allah. Inilah prinsip yang dibawa para rasul hingga nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam. Dan diteruskan oleh pengikutnya. Sikap ini didukung oleh para pemuka agama yang memiliki cara berpikir yang jernih dan muak terhadap kemaksiyatan. Maka ketika dakwah tauhid memaklumatkan pengharaman penyembahan terhadap kuburan, melarang laki-laki dan perempuan mandi bersama di sungai, mengharamkan minuman keras dan rokok, melarang judi dan menyabung ayam, menganjurkan wanita menutup wajahnya, tidak menurunkan pakaian laki-laki di bawah mata kaki dan anjuran- anjuran agama lainnya, maka dukungan dari pemuka agama itupun mengalir, seperti dari Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Ladang Laweh di Banuhampu, Tuanku Galung di Sungai Puar, Tuanku di Kota Halaban, Tuanku di Lubuk Aur Candung, Tuanku Mansiangan Nan Mudo di Mansiangan. Mereka adalah as-sabiqunal awwalun di Minangkabau yang telah membuat tidak nyenyak tidurnya ahlul bid’ah dan ahlul maksiyat. Keresahan kelak akan semakin menjadi-jadi setelah generasi lapisan kedua yang dimotori oleh Muhammad Syahab bin Chatib Bayanudin atau lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol, memimpin gerakan pemberangusan terhadap ahlul bid’ah serta perlawanan terhadap the big bos mereka yakni penjajah salibis dengan cara-cara yang lebih rapi, terorganisir dan terencana.
Tuanku Imam Bonjol melakukan semuanya karena ia lahir di lingkungan yang cinta terhadap ilmu dan jihad. Didikan para ulama dari surau ke surau, membuat Muhammad Syahab kecil yang telah ditinggal selamanya oleh sang ayah tatkala berumur 7 tahun menjadikan dirinya matang dalam pengetahuan agama. Sehingga pantas saja pada usia 25 tahun dia telah mencapai tingkatan tinggi dalam tradisi thalabul ‘ilmi di ranah Minang dengan gelar Peto. Sejak itu pula ia bergelar Peto Syarif, yang mendapatkan rekomendasi dari gurunya untuk mengajar dan berfatwa.
Demikianlah Allah menghendaki babak baru perjuangan dakwah tauhid di negeri ini lahir dari mereka yang senantiasa gelisah dengan terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh para penipu agama dan ahlul maksiyat. Hadangan terbesar dari dari musuh abadi dakwah ini yakni setan yang berbentuk jin maupun manusia terus berusaha dengan segala macam cara agar dakwah ini berhenti dari lajunya. Baik dengan cara yang halus seperti melalui pengaruh Tuanku Kota Tuo, Pengawal Thariqat Syatiriyah yang memiliki banyak pengikut, ataupun dengan cara-cara kasar seperti yang dilakukan para preman kampung atas suruhan penghulu (pembesar nageri) yang kesukaannya terhadap kemaksiyatan mulai terusik.
Lebih dari itu tatkala pertikaian memuncak di antara mereka, ahlul bid’ah dan ahlul maksiyat ini bahu membahu menggadaikan bangsanya kepada penjajah kolonial Belanda agar apa yang selama ini mereka kerjakan terjamin kelangsungannya. Lihatlah prosese penjualan bangsa yang mereka lakukan pada tanggal 10 Februari 1821 dengan perjanjian jual beli yang sangat mengerikan, seperti yang tertera dalam pasal 1 dan 2 Kontrak Penyerahan Kerajaan Minangkabau kepada Belanda: “Penghulu-penghulu tersebut dengan ini menyerahkan secara resmi dan sebulat-bulatnya negeri-negeri Pagaruyung, Sungai Tarub dan Suruase serta negeri-negeri lainnya di dalam kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Timur, penghulu-penghulu di atas dengan khidmat berjanji, baik untuk mereka sendiri maupun semua anak buah dan cucu-cucunya akan menurutkan semua perintah dari Gubernamen dengan cepat, dengan tiada kecualinya dan tidak akan pernah menyanggahnya.”
Innalillah wa innaa ilaihi raji’un!. Lantas apa yang mereka dapatkan dari proses jual beli bangsa ini?. Ayat 5 pada perjanjian yang ditanda tangani wakil Belanda saat itu James De Puy, memuat harga yang mereka kehendaki: “Kebiasaan dan adat lama di dalam negeri dan perhubungan antara penghulu-penghulu dengan anak buahnya seperti yang ada sekarang akan tetap dipelihara dan sekali-sekali tidak akan dilanggar…”
Setelah terjadinya kontrak jual beli bangsa ini maka perang dahsyatpun berkecamuk di ranah Minang. Perang yang esensinya tidak pernah diungkap dlam buku-buku sejarah negei ini sebagai bagian dari perang mempertahankan akidah dan keyakinan yang dijual oleh musuh agama dan musuh masyarakat dari kalangan ahlul bid’ah dan ahlul maksiyat. Perang antara ahlul haq dan ahlul bathi yang memakan korban ribuan dalam rentang waktu yang cukup lama dan melelahkan.
Demikianlah kehendak Allah agar kita mengambil pelajaran penting atas peristiwa itu. Ternyata, kita memiliki pendahulu yang demikian gigih, gagah dan membanggakan dalam mengusuh dakwah ini. Kitapun akhirnya mengetahui bahwa para ahlul bid’ah dan ahlul maksiyat itu rela menjual apa saja yang mereka miliki termasuk harga diri dan kehormatan bangsa dan agamanya demi terpenuhi hawa nafsu mereka. Oleh karenanya, saling mengasihi dan bekerjasama dengan mereka adalah sesuatu yang tidak patut dilakukan dengan dalih dan alasan apapun. Demikian halnya stereotif Wahabi yang sengaja untuk tidak dipisahkan dari perjuangan kaum Paderi, seakan itu adalah beban berat di pundak para penerus dakwah mereka. Oleh karenanya harus kita yakini itu adalah bagian dari konspirasi salibis dan penganut Islam tradisional yang selalu trauma dengan kebangkitan dakwah ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA:
Perang Sabil di Ranah Minang, Abu Zaky bin Muchtar, Majalah Salafy, edisi 38 / 1422H/2001M.
Melongok Gerakan Pemurnian Spiritual Kaum Padri, Dudun S Hudri, Republika Jum’at 9 Agustus 2002.

Tidak ada komentar: